Kamis, 09 Juni 2011

UANG TERAKHIR

“Nina!!!” teriakan Ibu Ana dari depan kelas membuyarkan lamunannya.
“I..i..iya bu.” jawab Nina terbata-bata.
“Coba kamu jelaskan apa yang barusan Ibu sampaikan!” perintah Ibu Ana.
“M..maaf bu…”
“Kali ini Ibu maafkan, sekali lagi kamu tidak memperhatikan lagi lebih baik kamu keluar dari kelas ini.”
“Iya bu, terimakasih.” Nina menghela nafas.
TRENG…TRENG…TRENG…TRENG….
“Baik, anak-anak sekarang sudah waktunya pulang. Silakan kalian kemasi buku dan alat-tulis lainnya.”

Siang itu Ibu Ana menutup pelajaran Bahasa Indonesia. Terdengar riuh serempak dari kelas VIII SMP Harapan Nusa membaca doa pulang dan ucapan selamat siang. Tak lama mereka pun berhamburan keluar kelas.

Terik matahari menambah hawa udara ibukota semakin panas. Peluh keringat mulai membanjiri sekujur tubuh anak umur 14 tahun yang tinggal di kawasan kumuh ibukota. Setiap hari ia pulang dan pergi sekolah dengan berjalan kaki menyusuri tepi jalan bersama teman-teman sebayanya.

“Nina!” terdengar teriakan memanggil namanya. Nina pun berhenti lalu menoleh ke arah datangnya sumber suara. Terlihat Ayu teman sebangku Nina berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Ayu bukan hanya teman sebangku, tetapi ia juga tetangga, teman sepermainan, sekaligus teman mengais rezeki sebagai tukang asongan di jalan raya. Mereka berdua menjajakan barang dagangan milik Pak Sarbini. Mereka berdua sangat akrab.

“Ada apa kamu memanggilku?”
“Lho, kok kamu nanya seperti itu? Tumben kamu jalannya cepat. Ada apa?” Ayu kebingungan.
“Oh, eh, maaf.”
“Kamu kenapa sih Nin, aku perhatikan sepertinya hari ini kamu banyak melamun?” tanya Ayu seperti mendesak. “Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan?”
“Mmm, tak ada,”
“Jangan kamu bohong padaku Nin. Aku tahu siapa kamu, dan kamu pun tahu siapa aku. Kita bukan lagi sekedar teman. Aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri. Jangan kamu sungkan bicara padaku, apa yang sedang menimpamu sekarang?”
“Tidak ada,”
“Sungguh?”
“Iya.”
“Baiklah, aku tak akan memaksamu. Tapi sekali lagi kukatakan kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, cobalah kamu ceritakan padaku. Mungkin ada yang bisa aku bantu.”
“Iya, terimakasih.”
“Baiklah, rumahku sudah dekat. Kita berpisah di sini. Jangan lupa nanti jam 2 kita ke Warung Pak Sarbini dulu. Dagangan rokok dan permen punyaku sudah habis.”

Nina menoleh dan melemparkan senyum pada Ayu. Sungguh dia sangat menyayangi Ayu layaknya saudara. Hari ini perasaannya begitu kacau. Namun entah mengapa ia tak dapat menceritakan pada temannya itu.
***

Malam hari, cahaya rembulan begitu terang. Gedung-gedung menjulang. Cahaya lampu menambah semarak malam. Hiruk pikuk ibukota tak pernah padam. Hingga malam pun masih terdengar hingar bingar, aktivitas manusia seperti tak pernah berhenti. Di sudut ibukota, terdapat perkampungan kumuh. Perkampungan ini dihuni oleh 23 kepala keluarga yang berasal dari berbagai daerah untuk mengadu nasib di kota. Rumah-rumah mereka berdempetan dan dibangun dengan memakai triplek, juga kardus-kardus bekas. Sebagian mata pencaharian mereka ada yang menjadi pemulung, tukang rongsokan, atau kuli kasar. Sungguh mengenaskan.

Dan di salah satu sudut rumah yang kondisinya tak jauh berbeda dengan rumah lainnya terdapat sepasang suami istri dan ketiga anaknya ditemani cahaya lampu temaram dari tengah rumah. Tak lama sepasang suami istri ini pun bercakap-cakap. Terjadi perdebatan kecil di antara mereka.

“Sudah terkumpul berapa?”
“Sedikit lagi akan satu juta.”
“Hmm, baguslah. Lebih cepat akan lebih baik.”
“Apakah rencana kita ini benar?”
“Percayalah. Apa yang akan kita lakukan ini adalah yang terbaik.”
“Bagaimana nasib anak kita?”
“Mereka akan baik-baik saja”
“Pikirkanlah kembali. Dengan siapa mereka akan tinggal?”
“Mereka akan tetap di sini.”
“Lalu, siapa yang akan mengurus mereka? Egoiskah kita meninggalkan mereka dengan keadaan seperti ini?”
“Apakah kau mau terus-menerus melihat mereka dalam keadaan seperti ini. Sudahlah mereka akan baik-baik saja.”

Percakapan sepasang suami istri itu pun berakhir dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Di sudut ruangan lain sesosok tubuh mungil yang terjaga dari tidurnya, tak sedikit pun dapat memejamkan matanya kembali. Ia pun bertanya-tanya dalam hatinya, apa maksud dari percakapan sepasang suami istri tadi.
***

“Sudah sore, kita pulang aja yuk?” ajak Nina pada Ayu. Entah kenapa perasaannya semakin tak karuan. Apalagi sejak pamit tadi siang, ada perasaan aneh ketika ia mencium tangan Maknya. Perasaan takut akan ditinggalkan mungkin itulah yang ia rasakan saat ini.
“Kamu kenapa sih Nin?”
“Entahlah, perasaanku tak enak.”
“Ya sudah, kita pulang. Tapi, kita simpan dulu uang hari ini.”

Tak lama keduanya berjalan menuju arah lapangan sepak bola. Tak jauh dari sana terdapat semak belukar dan pohon yang besar. Di sanalah kedua anak perempuan itu menyimpan uang hasil upah mereka menjajakan barang dagangannya, dalam kaleng bekas yang kemudian mereka kubur.

“Kamu khawatir kita tak bisa melanjutkan sekolah?”
“Tidak. Masih ada satu tahun mengumpulkan uang untuk bisa melanjutkan sekolah.”
“Lalu?”
“Entahlah, hari ini perasaanku sangat kacau. Aku teringat Mak, bapak, dan adik-adikku.”
“Ada apa dengan mereka?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Ayo, kita lekas pulang.”
“Baiklah, aku antar kamu ke rumahmu.”

Keduanya hanya tersenyum, lalu bergegas pulang. Sesampainya di gang sempit menuju rumah Nina, orang-orang begitu ramai memadati jalan menuju rumahnya. Nina dan Ayu semakin heran. Mereka bertanya-tanya dalam hati. Semakin mendekati rumahnya orang-orang seperti menatap iba pada Nina. Hatinya berdebar-debar menunggu gerangan apakah yang telah menimpa keluarganya. Terdengar kasak-kusuk orang-orang membicarakan keluarganya. Berkali-kali ia mendapatkan belaian tangan orang-orang yang dijumpai. Sesampainya di depan pintu terdengar suara adik bungsunya yang masih berusia 2 tahun menangis tak henti-henti mungkin seperti biasa minta ASI. Namun, ketika ia melihat adiknya digendong oleh salah seorang tetangganya, tak lama adik keduanya yang berusia 7 tahun menghambur memeluk tubuh Nina. Ia semakin keheranan. Tak lama seseorang menyerahkan amplop putih pada Nina. Tubuhnya menggigil ketika menerimanya. Ia pun buru-buru membukanya.

Nina, anakku. Maafkan Mak dan Bapakmu yang tak pernah membahagiakanmu dan adik-adikmu. Dalam amplop ini Mak dan bapak sisipkan uang SATU JUTA untuk keperluanmu dan adik-adikmu. Pergunakanlah uang ini sebaik mungkin. Maaf, Mak dan Bapak harus pergi. Jaga dirimu dan adikmu baik-baik.

Salam

Mak dan Bapak


Memasuki ruangan yang ia dan keluarganya sebut dengan dapur, dua sosok tubuh terjulur ke lantai, dengan leher terikat sebuah tali plastik yang diikatkan pada kayu usang langit-langit rumah. Nina menjerit sejadi-jadinya. Teriakan dan istighfar dari sebagian orang yang memenuhi rumahnya kini mengisi dan meriuhi udara. Nina memeluk kedua kaki orang tuanya erat-erat yang sudah tak lagi bernyawa. Inilah hari episode hidupnya yang paling kacau dan berat.**

Kostalihsan, 10 Mei 2010


*)Terinspirasi dari berita Pikiran Rakyat,
Edisi Kamis, 6 Januari 2011, tentang
“Tiga bocah itu Yatim Piatu”.

2 komentar: