Kamis, 09 Juni 2011

UANG TERAKHIR

“Nina!!!” teriakan Ibu Ana dari depan kelas membuyarkan lamunannya.
“I..i..iya bu.” jawab Nina terbata-bata.
“Coba kamu jelaskan apa yang barusan Ibu sampaikan!” perintah Ibu Ana.
“M..maaf bu…”
“Kali ini Ibu maafkan, sekali lagi kamu tidak memperhatikan lagi lebih baik kamu keluar dari kelas ini.”
“Iya bu, terimakasih.” Nina menghela nafas.
TRENG…TRENG…TRENG…TRENG….
“Baik, anak-anak sekarang sudah waktunya pulang. Silakan kalian kemasi buku dan alat-tulis lainnya.”

Siang itu Ibu Ana menutup pelajaran Bahasa Indonesia. Terdengar riuh serempak dari kelas VIII SMP Harapan Nusa membaca doa pulang dan ucapan selamat siang. Tak lama mereka pun berhamburan keluar kelas.

Terik matahari menambah hawa udara ibukota semakin panas. Peluh keringat mulai membanjiri sekujur tubuh anak umur 14 tahun yang tinggal di kawasan kumuh ibukota. Setiap hari ia pulang dan pergi sekolah dengan berjalan kaki menyusuri tepi jalan bersama teman-teman sebayanya.

“Nina!” terdengar teriakan memanggil namanya. Nina pun berhenti lalu menoleh ke arah datangnya sumber suara. Terlihat Ayu teman sebangku Nina berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Ayu bukan hanya teman sebangku, tetapi ia juga tetangga, teman sepermainan, sekaligus teman mengais rezeki sebagai tukang asongan di jalan raya. Mereka berdua menjajakan barang dagangan milik Pak Sarbini. Mereka berdua sangat akrab.

“Ada apa kamu memanggilku?”
“Lho, kok kamu nanya seperti itu? Tumben kamu jalannya cepat. Ada apa?” Ayu kebingungan.
“Oh, eh, maaf.”
“Kamu kenapa sih Nin, aku perhatikan sepertinya hari ini kamu banyak melamun?” tanya Ayu seperti mendesak. “Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan?”
“Mmm, tak ada,”
“Jangan kamu bohong padaku Nin. Aku tahu siapa kamu, dan kamu pun tahu siapa aku. Kita bukan lagi sekedar teman. Aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri. Jangan kamu sungkan bicara padaku, apa yang sedang menimpamu sekarang?”
“Tidak ada,”
“Sungguh?”
“Iya.”
“Baiklah, aku tak akan memaksamu. Tapi sekali lagi kukatakan kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, cobalah kamu ceritakan padaku. Mungkin ada yang bisa aku bantu.”
“Iya, terimakasih.”
“Baiklah, rumahku sudah dekat. Kita berpisah di sini. Jangan lupa nanti jam 2 kita ke Warung Pak Sarbini dulu. Dagangan rokok dan permen punyaku sudah habis.”

Nina menoleh dan melemparkan senyum pada Ayu. Sungguh dia sangat menyayangi Ayu layaknya saudara. Hari ini perasaannya begitu kacau. Namun entah mengapa ia tak dapat menceritakan pada temannya itu.
***

Malam hari, cahaya rembulan begitu terang. Gedung-gedung menjulang. Cahaya lampu menambah semarak malam. Hiruk pikuk ibukota tak pernah padam. Hingga malam pun masih terdengar hingar bingar, aktivitas manusia seperti tak pernah berhenti. Di sudut ibukota, terdapat perkampungan kumuh. Perkampungan ini dihuni oleh 23 kepala keluarga yang berasal dari berbagai daerah untuk mengadu nasib di kota. Rumah-rumah mereka berdempetan dan dibangun dengan memakai triplek, juga kardus-kardus bekas. Sebagian mata pencaharian mereka ada yang menjadi pemulung, tukang rongsokan, atau kuli kasar. Sungguh mengenaskan.

Dan di salah satu sudut rumah yang kondisinya tak jauh berbeda dengan rumah lainnya terdapat sepasang suami istri dan ketiga anaknya ditemani cahaya lampu temaram dari tengah rumah. Tak lama sepasang suami istri ini pun bercakap-cakap. Terjadi perdebatan kecil di antara mereka.

“Sudah terkumpul berapa?”
“Sedikit lagi akan satu juta.”
“Hmm, baguslah. Lebih cepat akan lebih baik.”
“Apakah rencana kita ini benar?”
“Percayalah. Apa yang akan kita lakukan ini adalah yang terbaik.”
“Bagaimana nasib anak kita?”
“Mereka akan baik-baik saja”
“Pikirkanlah kembali. Dengan siapa mereka akan tinggal?”
“Mereka akan tetap di sini.”
“Lalu, siapa yang akan mengurus mereka? Egoiskah kita meninggalkan mereka dengan keadaan seperti ini?”
“Apakah kau mau terus-menerus melihat mereka dalam keadaan seperti ini. Sudahlah mereka akan baik-baik saja.”

Percakapan sepasang suami istri itu pun berakhir dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Di sudut ruangan lain sesosok tubuh mungil yang terjaga dari tidurnya, tak sedikit pun dapat memejamkan matanya kembali. Ia pun bertanya-tanya dalam hatinya, apa maksud dari percakapan sepasang suami istri tadi.
***

“Sudah sore, kita pulang aja yuk?” ajak Nina pada Ayu. Entah kenapa perasaannya semakin tak karuan. Apalagi sejak pamit tadi siang, ada perasaan aneh ketika ia mencium tangan Maknya. Perasaan takut akan ditinggalkan mungkin itulah yang ia rasakan saat ini.
“Kamu kenapa sih Nin?”
“Entahlah, perasaanku tak enak.”
“Ya sudah, kita pulang. Tapi, kita simpan dulu uang hari ini.”

Tak lama keduanya berjalan menuju arah lapangan sepak bola. Tak jauh dari sana terdapat semak belukar dan pohon yang besar. Di sanalah kedua anak perempuan itu menyimpan uang hasil upah mereka menjajakan barang dagangannya, dalam kaleng bekas yang kemudian mereka kubur.

“Kamu khawatir kita tak bisa melanjutkan sekolah?”
“Tidak. Masih ada satu tahun mengumpulkan uang untuk bisa melanjutkan sekolah.”
“Lalu?”
“Entahlah, hari ini perasaanku sangat kacau. Aku teringat Mak, bapak, dan adik-adikku.”
“Ada apa dengan mereka?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Ayo, kita lekas pulang.”
“Baiklah, aku antar kamu ke rumahmu.”

Keduanya hanya tersenyum, lalu bergegas pulang. Sesampainya di gang sempit menuju rumah Nina, orang-orang begitu ramai memadati jalan menuju rumahnya. Nina dan Ayu semakin heran. Mereka bertanya-tanya dalam hati. Semakin mendekati rumahnya orang-orang seperti menatap iba pada Nina. Hatinya berdebar-debar menunggu gerangan apakah yang telah menimpa keluarganya. Terdengar kasak-kusuk orang-orang membicarakan keluarganya. Berkali-kali ia mendapatkan belaian tangan orang-orang yang dijumpai. Sesampainya di depan pintu terdengar suara adik bungsunya yang masih berusia 2 tahun menangis tak henti-henti mungkin seperti biasa minta ASI. Namun, ketika ia melihat adiknya digendong oleh salah seorang tetangganya, tak lama adik keduanya yang berusia 7 tahun menghambur memeluk tubuh Nina. Ia semakin keheranan. Tak lama seseorang menyerahkan amplop putih pada Nina. Tubuhnya menggigil ketika menerimanya. Ia pun buru-buru membukanya.

Nina, anakku. Maafkan Mak dan Bapakmu yang tak pernah membahagiakanmu dan adik-adikmu. Dalam amplop ini Mak dan bapak sisipkan uang SATU JUTA untuk keperluanmu dan adik-adikmu. Pergunakanlah uang ini sebaik mungkin. Maaf, Mak dan Bapak harus pergi. Jaga dirimu dan adikmu baik-baik.

Salam

Mak dan Bapak


Memasuki ruangan yang ia dan keluarganya sebut dengan dapur, dua sosok tubuh terjulur ke lantai, dengan leher terikat sebuah tali plastik yang diikatkan pada kayu usang langit-langit rumah. Nina menjerit sejadi-jadinya. Teriakan dan istighfar dari sebagian orang yang memenuhi rumahnya kini mengisi dan meriuhi udara. Nina memeluk kedua kaki orang tuanya erat-erat yang sudah tak lagi bernyawa. Inilah hari episode hidupnya yang paling kacau dan berat.**

Kostalihsan, 10 Mei 2010


*)Terinspirasi dari berita Pikiran Rakyat,
Edisi Kamis, 6 Januari 2011, tentang
“Tiga bocah itu Yatim Piatu”.

Hujan, aku merindukanmu

Hujan,
Kini, aku merasakan kehadiranmu.


Libur semester genap ini kuhabiskan dengan berdiam diri di rumah. Entah mengapa, kali ini aku tak ingin mengisi liburanku dengan kegiatan-kegiatan kampus yang selalu melelahkan. Namun, tak seperti biasa dirumah pun aku tak bisa pergi kemana-mana. Hampir tiap hari cuaca mendung dan hujan. Aku hanya bisa memandangi tetesan hujan melalui jendela. Berharap seseorang yang kuharapkan akan datang menemuiku. Ada secercah rasa rindu yang menyesak dalam dada.

“Aku gak suka hujan.” ungkapku sedikit marah pada Ian beberapa waktu yang lalu ketika ia mengajakku ke rumahnya untuk menemui keluarganya. Ia ingin memperkenalkanku pada keluarganya. Semula aku menolak, tapi lama-kelamaan akhirnya aku luluh. Namun, belum sampai menuju rumah keluarga Ian, kita terjebak hujan. Kukatakan agar berhenti mencari tempat berteduh atau kembali kerumahku. Tapi, ia tak menggubrisku malah mengajakku ke suatu tempat seperti padang rumput. Baju kami basah kuyup. Jelas aku marah.

“Kenapa?” Tanya dia santai. Seperti tak menghiraukan hujan yang terus mengguyur tubuh kami. “Hani, coba kamu ikuti gerakanku!” Perintah Ian padaku sambil membuka kedua tangannya, menghadap ke langit, aku menatapnya. “Pejamkan matamu!” kulihat ia tampak begitu serius, lalu membuka matanya, melirikku dengan tersenyum lalu kembali memejamkan matanya. aku pun mencoba mengikutinya. “Hani, kamu bisa ngerasaain tetesan hujan ini gak?”. Aku terdiam mencoba meresapi butir-butir air yang menerpa wajahku. “Aku ingin bebas seperti hujan. Jika suatu saat kamu merindukanku tunggulah hujan, rasakan setiap tetesannya, maka aku ada.” Teriak Ian yang berlomba dengan derasnya hujan. “Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu.” Tegas Ian. Mataku membuka, aku kaget. Baru kali ini ia mengatakan lagi bahwa ia menyukaiku. Ian memang bukan tipe laki-laki gombal. Kulihat Ian masih pada posisinya.

“Ian, aku ingin pulang!” pintaku. Ia pun membuka matanya dan melihatku semakin menggigil karena kedinginan. Tak lama ia pun mengambil kunci motornya dan mengantarkanku pulang ke rumah.
Setibanya dirumah, orangtuaku kaget melihat kami datang dengan pakaian basah kuyup. Kutinggalkan Ian di ruang tamu bersama Ayahku. Sayup-sayup kudengar ia meminta maaf pada orangtuaku. Beberapa hari aku terbaring lemah karena demam. Ian pun menjengukku. Dan masih kuingat percakapanku saat itu.
“Hani, maafin aku. Aku nyesel nyuruh kamu ngikutin kelakuanku yang aneh.”
“Sudahlah, gak apa-apa aku cuma demam, seminggu juga sembuh.”
“Makasih Han.” “Kamu kapan kembali ke Semarang?”
“Mungkin, nunggu sembuh. Secepatnya aku harus kembali. Liburanku sebentar lagi selesai.”
“Oh.” Jawab Ian singkat. Terlihat raut kekecewaan pada wajahnya.
“Oh iya, aku boleh nanya gak?”
“Apa?”
“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kamu gak suka hujan?”

Lalu, mengalirlah cerita kenapa aku gak suka hujan. Sejak kecil aku memang tidak menyukai hujan. Bagiku jika hujan datang, aku tak kan bisa melakukan aktivitas apapun. Waktu bermainku yang hanya sebentar menjelang magrib datang menjadi tak ada. Berangkat sekolah pun harus di antar, karena aku tak bisa berjalan di tempat yang licin. Berkali-kali aku jatuh ketika berangkat sekolah atau mengaji. Belum lagi, jika aku bermain hujan-hujanan ibuku akan memarahiku karena kondisiku yang lemah sering jatuh sakit jika kehujanan.

Berbeda dengan Ian. Seperti kebanyakan orang ia sangat menyukai hujan. Ia akan merasa bahagia dengan hujan. Hujan adalah hal yang paling ia tunggu. Menurutnya hujan adalah anugerah Sang Pencipta yang patut kita syukuri. Aku kaget dan tak menyangka ketika ia mengatakan masih ingat dan sangat kagum pada penjelasanku waktu kami duduk di bangku kelas tiga SMA. Tanpa sengaja ia melewati kelasku, dan mendapatiku sedang berdiskusi dengan beberapa temanku. Akhirnya ia pun duduk tak jauh dariku mencoba mendengarkan diskusiku waktu itu. Ia masih ingat ucapanku waktu itu bahwa betapa pentingnya air, tanpa air bumi menjadi gersang. Semua makhluk hidup memerlukan air. Manusia akan bisa bertahan jika tidak makan, tetapi manusia tidak akan bisa bertahan tanpa air. Saking melimpahnya air tiga perempat bumi adalah air dan tubuh manusia pun 70% terdiri dari air. Air memang sangat mendominasi alam semesta.

“Lalu, kapan kamu akan menyukai hujan?” Tanya Ian mengagetkanku.
“Suatu saat. Yah, suatu saat aku akan menyukai hujan, entah dengan cara apa aku akan menyukainya.” Jawabku. “Dan suatu saat pun aku akan menyukaimu, entah dengan cara apa” desisku.
***

Sudah dua semester ini aku jarang bertemu dia lagi. Hanya sesekali ketika libur panjang semester, itupun jika jadwal libur kita sama dan kita tak ada kegiatan di kampus masing-masing. Aku yang mengambil kuliah di Semarang, sedangkan Ian di Jakarta membuat jarak memisahkan kita. Tapi tak apa, toh itu memang pintaku untuk jarang bertemu. Tetapi, kali ini aku berharap akan bertemu dan bercengkerama lagi dengannya. Sudah beberapa kali aku mengiriminya pesan singkat, menyuruhnya untuk datang kerumahku. Ia pun menyetujuinya, hanya selalu ada kendala ketika ia akan berangkat dan hari ini ia berjanji akan menemuiku meski hujan terus mengguyur bumi.
Entah perasaan apa tiba-tiba menelusup, aku rindu dia. Mungkinkah aku mulai mencintainya? Entahlah, setelah pertemuan kemarin dengannya yang tanpa sengaja saat acara reuni di sekolahku dulu. Beberapa hari ini aku rindu lelaki itu. Sesungguhnya belakangan ini bayangan dia terus muncul dalam benakku. Berkali-kali aku berusaha mengelak dari bayangan tentangnya. Namun, tetap tak bisa. Ia terlalu menyita pikiranku. Bagiku terlalu tabu untuk mengungkapkan semuanya. Aku hanya ingin memperbaiki hubunganku dengannya.

Aku bertemu dengan Ian di gerbang sekolah. Waktu itu aku bersama Dina, temanku. Kutahu Dina adalah sahabat Ian. Mereka satu kelas. Dina mengatakan padaku bahwa ia adalah tempat curhat Ian. Ku sapa ia, selayaknya aku menyapa sebagai teman. Ini adalah bagian dari perjanjianku dengannya tiga tahun yang lalu. Ketika aku menerimanya sebagai kekasihku, dengan satu syarat bahwa tidak boleh ada yang tahu seorang pun termasuk keluargaku mengenai hubunganku dengannya. Mereka harus mengira bahwa kita hanyalah teman dan ia pun menyanggupinya.

“Hani, Dina!” teriak Ian mengagetkanku.
“Eh, Ian. Apakabar?” Tanyaku serempak kaget.
“Baik, kamu?”
“Eh, emm baik juga” jawabku kikuk. Oh iya, katanya kemarin sewaktu aku pulang, kamu gak akan pulang karena masih ada UAS. Tapi koq sekarang ada di sini?” tanyaku penasaran.
“Ian, Hani, maaf aku duluan ke dalam ya. Aku mau ketemu yang lainnya dulu.” Dina berpamitan.
“Oh iya.” Jawabku dan Ian.
“Ehm, kayaknya kamu salah dengar. Kemarin, aku bilang gak jadi hari itu, karena hari itu masih ada UAS yang mendadak di pindah. Bukan gak akan pulang.”
“Oh gitu, maaf kemarin emang sedikit berisik soalnya lagi di jalan. Kamu mau ke dalam juga?” tanyaku.
“Iya. Tapi mungkin bentar lagi.”
“Hani, aku mau tanya sesuatu sama kamu.” Tanya Ian.
“Ada apa?”
“Katanya sekarang kamu lagi dekat sama orang sini ya? Masih teman kita?” Tanya Ian setengah mendesak membuatku kaget.
“Nggak. Kata sapa? Aku masih sama kamu kan?” Aku balik bertanya.

Ian terus mendesakku. “Oh, ya sudah kalau memang tidak. Mungkin kabar itu hanya gosip. Aku percaya kamu koq.” Lanjut Ian sambil tersenyum. Tak lama Arul datang menyapa kami dan akhirnya aku pamit meninggalkan mereka. Padahal aku masih ingin berdua dengan Ian.

Pertanyaan Ian benar-benar membuatku gelisah dan tak bisa berfikir hingga kini. Aku memang tak memungkiri, sekarang ini aku sedang dekat dengan salah satu teman kelasku waktu SMA. Tapi, hanya sebatas teman. Aku tak pernah menyangka berita itu akan sampai juga ke telinga Ian.

Kemudian, ketika masuk ruangan. Aku mengambil kursi. Beberapa teman menyapaku. Dina menghampiriku kembali. Lalu menanyakan padaku tentang percakapanku dengan Ian di luar tadi. Ia pun menceritakan padaku, bahwa Ian sering bercerita padanya. Betapa ia sangat kecewa terhadap kekasihnya. Kekasih yang sangat ia cintai dan ia sayangi. Ian mendapat kabar bahwa kekasihnya itu sedang dekat dengan orang yang Ian kenal, tapi ia tidak tahu siapa laki-laki itu. Sebenarnya Ian memang mengetahui bahwa perempuan itu tidak benar-benar mencintai dia. Namun, Ian juga mengatakan entah kenapa ia tidak bisa membenci perempuan itu. Andai Dina tahu siapa kekasih Ian, ia ingin menemuinya dan memarahinya. Begitu bodohnya perempuan itu karena telah menyia-nyiakan Ian yang begitu amat mencintai perempuan itu. Dina begitu kesal dan mengutuk perempuan itu. Tetapi, Ian tak memberitahunya kepada siapa pun kecuali keluarganya. Ia memegang janji pada perempuan itu untuk tidak memberitahukan pada siapapun mengenai hubungannya. Dina juga mengatakan hal-hal yang unik tentang Ian, kebaikan Ia. Ah, aku makin kagum pada laki-laki itu, sekaligus malu dan merasa bersalah karena telah mengecewakan laki-laki yang baik seperti Ian.

Dulu sebelum ia mengatakan suka padaku akupun menyukainya sekaligus kagum padanya. Dia yang stylishnya urakan, dan dijuluki raja jail. Namun, di balik urakannya dia terlalu baik, dia yang cerdas, dia yang tak pernah marah, dia yang selalu berlaku lemah lembut pada wanita, dia yang selalu mengerti kesulitan orang lain, dia yang selalu membantu kesulitan orang, dia yang selalu tak pernah enggan untuk direpotkan, dia yang selalu sopan, dia yang selalu tersenyum yang bisa membuat senyumannya membekas, dan dia, dia dia…ah, mungkin tak cukup aku membeberkan kebaikannya satu persatu. Mungkin, itulah yang membuatku kenapa aku “tertarik” padanya. Namun, setelah ia menyatakan cintanya padaku harusnya aku bahagia gayung bersambut. “Perlu kau tahu Hani, aku menyukaimu karena kamu wanita yang cerdas, berjilbab, enak diajak diskusi, dan tidak pilih-pilih orang.” Ucap Ian lugas saat ia menyatakan cintanya padaku. Tapi, entah kenapa sejak itu aku tak memiliki rasa apapun padanya.

Tiga tahun aku mencoba berhubungan dengannya meski dengan jarak jauh. Tapi rasa cinta itu tak pernah juga muncul. Komunikasi tetap berjalan lancar walau tidak terlalu intens setiap hari. Itu memang karena kemauanku juga. Banyak temanku yang mengatakan bahwa gaya pacaranku tidak sehat. Kadang akupun sering berfikir, apakah tindakanku ini salah. Jika aku mengingat ini maka buru-buru aku menghubungi dia dan kurasakan betapa senangnya ketika ia menerima pesan atau telponku. Tapi, tetap aku tak belum bisa mencintainya.
***

Aku masih menunggunya dalam hujan yang tak kunjung reda. Hingga malam pun datang. Ia tak juga muncul. Tak biasanya perasaanku dirundung rasa khawatir. Kucoba mengiriminya pesan singkat dan menghubungi handphonenya, tapi tak ada jawaban. Aku semakin gelisah dan murung. Orang tuaku menanyakan sikapku yang aneh semenjak tadi siang. Aku hanya bisa terdiam. Mencoba berfikir positif. Mungkin Ian sibuk.Malam itu aku tak bisa sedikit pun memejamkan mataku. Kucoba dengan melakukan shalat dan membaca Al-Quran, kuharap hatiku akan tenang. Adzan subuh menggema, membangunkanku. Tak terasa aku tertidur di atas tempat shalatku. Terdengar diluar gemericik hujan yang masih tak kunjung reda. Aku mengambil air wudhu dan melakukan shalat. Ketika aku merapikan alat shalatku, handphoneku berdering. Aku sedikit kaget dan bertanya dalam hati, siapa gerangan yang menghubungiku di pagi buta. Mungkinkah Ian menghubungiku untuk meminta maaf karena kemarin ia tak jadi datang? Tiba-tiba hatiku menjadi tak karuan. Buru-buru kuraih handphoneku, kulihat ternyata Arul yang menghubungiku. Aku semakin bertanya-tanya.

“Assalamualaikum, Han.”
“Iya, waalaikumsalam. Ada apa Arul tumben kamu menghubungiku pagi-pagi”.
“Han, tolong beritahu teman-teman. Kita dapat berita duka. Ian alumni angkatan kita yang dari kelas Bahasa tadi malam meninggal dunia. Kemarin sore ia kecelakaan, keserempet truk. Kepalanya membentur trotoar. Pembuluh darah di otaknya pecah.” Jelas Arul.

Bumi seolah berhenti berputar. Aku memekik, tak terasa air mataku meleleh dan menjerit sejadi-jadinya. Seraya mengucapkan istigfar berkali-kali. Baru saja aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Ian tapi ternyata Tuhan telah mengambilnya. Aku tak menyangka Ian akan meninggalkanku begitu cepat. Tak lama orangtuaku datang menghampiriku dan menanyakan. Kukatakan pada orangtuaku bahwa Ian meninggal. Mereka kaget. Aku seperti orang kesurupan. Aku berlari meninggalkan rumah, menerobos hujan, dinginnya udara pagi hari dan pekatnya kabut. Aku terus berlari dengan menggenggam handphone. Air mataku tak kunjung berhenti seperti hujan yang juga tak kunjung reda. Sambil terus berlari aku teringat Dina. Kuhubungi ia.

“Din, Ian Din.” Ucapku sambil terisak-isak.
“Ada apa dengan Ian, Han?” Tanya hani di seberang sana seperti kaget.
“Ian, Din.”
“Iya, ada apa?
“Ian, meninggal.” Jeritku yang berlomba dengan hujan.
“Kamu, serius Han?” jawab Dina semakin kaget. Terdengar ucapan talkin dan istigfar.
“Iya, din. Din, aku..aku..aku…” Ucapku terbata-bata.
“Iya ada apa dengan kamu? Kamu dimana sekarang? Baik-baik aja kan?”
“Aku pacar Ian!”

Handphoneku terlempar begitu saja. Aku terduduk lemas di tepi jalan. Hujan menemaniku yang terus menangis. Aku rindu dia. Aku mencintainya. Aku berharap dia datang bersama hujan. ****


Kostalihsan, 8 Juni 2011. 7.02 am
*Teruntuk sahabatku terimakasih
telah menginspirasiku
I hope u will be stronger.

Kamis, 02 Juni 2011

Bagaimanakah Implementasi Biologi Menurut Al-Quran?

Isu pemanasan global (global warming) yang tentunya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Beragam kampanye tentang isu menakutkan itu semakin gencar terus disuarakan oleh berbagai aktivis lingkungan hidup. Namun, pada kenyataannya hal ini tak bisa di tekan. Adanya revolusi industri pada sekitar tahun 1700 membuat karbondioksida (〖CO〗_2) beranjak naik mulai dari 270 ppm menjadi hampir dua kali lipatnya saat ini. Bagaimana tidak, kendaraan semakin merajalela, berbagai eksploitasi sumber daya alam semakin dilakukan, sehingga semuanya menjadi hal yang kompleks dan terakumulasi tanpa ada tindakan memperbaharui.

Sementara menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika fenomena sekarang yang sedang kita hadapi saat ini bumi kita sedang dilanda anomali cuaca. Hal ini mengakibatkan di beberapa sektor seperti pertanian dan perikanan mengalami kerugian. Berbagai media cetak mengabarkan robohnya pilar keluarga nelayan dan petani sudah semakin tak bisa diselamatkan. Musim paceklik yang hanya terjadi empat bulan dalam setahun kini bergeser menjadi hampir sepanjang tahun. Akibatnya berbagai usaha mengalami kemunduran. Keberadaan ikan pun semakin minim. Kerusakan ekosistem laut semakin terancam. Ini diakibatkan dari pengangkapan ikan yang jelas tidak ramah lingkungan. Bagaimana tidak, semua penangkapan ikan menggunakan jonggol dan pukat harimau. Ikan sebesar korek api pun terambil, sampai telurnya juga terambil. Kelangsungan ikan di laut tidak terjaga lagi karena telur ikan dan ikan kecil terkuras habis. Jika keadaan ini semakin terus terjadi dapat diperkirakan tingga hingga lima tahun ke depan, jika jogol atau jaring yang menggunakan mata jaring sangat kecil terus berlangsung dan bagan tersebut dibiarkan, kelangsungan nasib nelayan secara keseluruhan akan mati. Seperti yang dituturkan oleh para nelayan yang berada di kampung Marunda Kepu-Jakarta Utara dan nelayan kampung Pananjung, Pangandaran-Ciamis yang berhasil di wawancarai oleh wartawan PR (11/11) mengatakan bahwa sejak tahun 1999 hasil tangkapan mereka semakin merosot.

Di sektor pertanian, beberapa waktu yang lalu betapa kita merasakan lonjakan harga cabai yang melambung hingga mencapai angka ratus ribu ini semua diakibatkan dari kelangkaan komoditas itu. Mahalnya harga cabai dan komoditas sayuran lainnya yang terjadi adalah dampak dari anomali cuaca. Kelangkaan terjadi oleh bencana alam banjir dan kekeringan yang mengakibatkan tanaman membusuk, sehingga petani gagal panen. Bahkan bukan hanya itu, di belahan bumi lain seperti China dan India akibat dari cuaca ekstrem yang mencapai minus 23,6 derajat Celcius ini telah merenggut puluhan hingga ratusan nyawa dan melumpuhkan semuanya. Menurut BMG setempat hujan es dan salju tebal dinilai lebih luar biasa dari tahun-tahun sebelumnya. Diketahui cuaca ekstrem atau anomali cuaca kerap terjadi di dalam satu dekade terakhir ini di berbagai belahan dunia. Kendati demikian, cuaca menunjukkan peningkatan ketidaknormalannya yang lebih parah.

Usia bumi kita semakin renta. Umat manusia semakin bertambah banyak, kebutuhan di berbagai hal semakin meningkat. Dan di bumi, Allah SWT telah menyiapakn segala kebutuhan kita tak kurang sedikit pun. Menurut I Nyoman Aryantha dalam kuliah Umum Biologi (9/11) mengatakan bahwa baru 5 persen sumber daya alam yang kita manfaat. Namun, menurut hemat saya jika yang 5 persen ini di ambil dan diproses dengan cara yang salah maka dapat dipastikan 95 persen yang belum dimanfaatkan akan rusak dan hancur. Padahal Allah SWT telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan (Q.S.As-Syu’araa,58:152). dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam) (Q.S.Ar-Ra’d,13:25). Jika kita merujuk kepada ayat qauliyah tersebut, mungkinkah saat ini kita tengah merasakan akibat dari semua tindakan yang kita lakukan??

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (Q.S.Al-Alaq, 96:1). Itulah petikan ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Memaknai kata “Bacalah” mungkin sudah saatnya kita menafsirkan bukan hanya sebatas membaca sebuah tulisan. Namun, kembali kepada tugas kita sebagai khalifah fil-ard sudah sepantasnya kita membaca dengan mengimplementasikannya berupa menjaga segala sesuatu yang terdapat di muka bumi ini.****

Eksotisme “Curug Sabuk”


Sejenak melepas segala kepenatan, dari hiruk pikuk perkotaan dan segala aktivitas yang melelahkan. Berawal dari sebuah ide sekaligus undangan perayaan menyambut tahun baru 2011 Komunitas Runput mengadakan acara “Rumput Berpuisi”. Saya dan beberapa anggota rumput lainnya mengunjungi rumah Pak Aki yang terletak di daerah Cicalengka desa Mekarwangi, kunjungan ke rumah Pak Aki ini seperti menjadi hal yang tak bisa dilepaskan. Entah chemistry apa sehingga membuat kami merasa rindu dan kerasan bila berada di rumah Pak Aki.

Sabtu (01/01/2011), kami melakukan perjalanan ke Curug Sabuk. Curug sabuk ini merupakan salah satu objek wisata alam di kab. Sumedang yang bisa dibilang masih jarang dikunjungi. Terletak disekitar taman Buru Gunung Masigit dan Kawasan Gunung Kareumbi. Lokasinya yang berada di dalam hutan menjadikan tantangan tersendiri sebelum kita menemukan curug ini.

Kami langsung jalan kaki menuju areal perkampungan, kemudian tak lama kami melewati perkebunan, setelah itu hamparan padang ilalang yang cukup membuat kami kesulitan melewatinya. Tumbuhan yang ditemukan disini merupakan campuran pohon dan semak berduri serta tumbuhan berair banyak (sekulen). Pohon-pohon perdu tumbuh liar sehingga menutupi jalan yang dilewati. Kami menemukan turunan yang akhirnya mengantarkan kami memasuki sebuah kawasan hutan. Jalanan terjal mulai kami rasakan begitu masuk ke bagian dalam hutan. Seperti halnya hutan-hutan lain yang berada di Indonesia.

Hutan menuju curug sabuk ini pun termasuk jenis Hutan Hujan Tropis yang terlihat jelas memiliki straifikasi vertical. Pohon-pohon pada kanopi membentuk lapisan yang paling atas. Kanopinya yang rapat menyebabkan sedikit sekali cahaya yang mencapai tanah di bawahnya. Banyak pohon yang ditumbuhi epifit (tumbuhan yang tumbuh diatas tumbuhan lain).

Namun, begitu lokasi semakin jauh dari jangkaun manusia. Hati saya terasa miris melihat banyak sekali ditemukan pohon yang ditebang sembarangan seperti menunjukkan adanya illegal loging (saya jadi teringat sebuah ayat Al-Quran, “janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. Selama 4 jam kami disuguhi perjalanan setapak yang turun, naik, ada yang datar namun semuanya sangat curam. Terlebih ketika sudah mulai terdengar gemericik air, kami mulai melewati jalan turunan yang tegak lurus 90⁰, jalan ini sangat terjal dan curam, jurang disisi kanan-kiri sehingga kami mulai waspada dan berhati-hati ketika kaki melangkah, terlebih ketika sudah mendekati lokasi Curug Sabuk, lagi-lagi kami harus melewati jalan yang ekstrim. Kami harus menyeberang tanah yang dipisahkan akibat longsor dengan cara meloncat. Lebar sebrangan kira-kira ±2 meter dan di bawahnya terdapat batu-batu besar. Perjalanan ini ada yang datar namun terhalang oleh duri, menurun, naik, terjal, seolah seperti kehidupan.

Akhirnya, setelah 4 jam perjalanan dengan penuh perjuangan, semangat dan keceriaan tibalah kami di sebuah air terjun yang dinamanakan “Curug Sabuk”. Curug sabuk ini memiliki satu curug yang besar dengan air yang deras, dan dua anak curug di sisi kanan-kiri. Menurut penduduk sekitar dikatakan Curug Sabuk, karena bentuk curug ini seperti sabuk, dan memang terlihat curug ini bentuknya sangat panjang mirip dengan sabuk. Di dekat curug terdapat sebuah bale-bale yang sepertinya baru dibuat sebulan yang lalu dan terlihat sedikit modern, seperti atap yang dipakai oleh bale ini terbuat dari bahan fiber. Bale ini dapat digunakan untuk sekedar istirahat, berteduh, dan melepas lelah setelah mlakukan perjalanan ekstrim menuju curug sabuk.
Suasana tampak tenang, sunyi senyap, hawa dingin dan sejuk segera menjalari tubuh kami yang nampak lelah. Terlihat tak ada tanda-tanda kehidupan manusia, hanya deretan pohom-pohon besar dan semak belukar mendominasi kawasan sekitar curug sabuk ini. Terdengar hanya kicau burung, dan gemericik air yang berjatuhan, seolah-olah tumpah bebas. Dan kami terbius menikmati suasana alam Curug Sabuk.

Namun, waktu beranjak sore akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Aki. Mungkin jika kami melakukan perjalanan ke curug-curug lainnya perjalanan Curug Sabuk ini masih kalah ekstrimnya dan masih kalah indahnya. Tapi, menurut kami perjalanan ini sangat menakjubkan terlebih dilakukan pada moment yang tepat selain pembukaan tahun kami juga bertadabbur menikmati keindahan alam yang jarang kami temui. Semuanya membuat kami speechless, bahagia, senang, dan puas. Semoga perjalanan berikutnya lebih menyenangkan, menakjubkan dan menegangkan.**
bersama komunitas


*Pernah dimuat di edisi ke-3 di www.buletinilalang.wordpress.com

Bocah Ojek Payung

Siang itu mendung menyelimuti
Aku duduk di pojok kiri kendaraan
Sambil terkantuk-kantuk
Aku memperhatikan
Deretan gedung-gedung pencakar langit
Seorang bapak setengah baya
Menggandeng lengan bocah perempuan
Dan menggenggam dua buah payung besar
Masuk ke dalam kendaraan
Mataku tertuju pada mereka
Pakaiannya terasa aneh kupandang
Terutama si anak
Memakai sweater lusuh
Kuhentikan kendaraan di pusat keramaian
Si bapak pun ikut keluar bersamaku
Dengan menggenggam lengan anaknya
Tak lama air dari langit pun jatuh deras
Kulihat orang-orang begitu panik
Dan lari berhamburan menyelamatkan tubuh mereka
Mataku pun tertuju pada seorang bocah perempuan
Kuingat dia
Yah, Bocah yang tadi bersamaku di angkot
Bapaknya sibuk merapatkan baju si anak
Kemudian menggenggamkan payung besar di tangan kanan
Lalu lari entah kemana
Meninggalkan si anak.

Kostalihsan,1 Juni 2011 . 22:58pm