Kamis, 09 Juni 2011

Hujan, aku merindukanmu

Hujan,
Kini, aku merasakan kehadiranmu.


Libur semester genap ini kuhabiskan dengan berdiam diri di rumah. Entah mengapa, kali ini aku tak ingin mengisi liburanku dengan kegiatan-kegiatan kampus yang selalu melelahkan. Namun, tak seperti biasa dirumah pun aku tak bisa pergi kemana-mana. Hampir tiap hari cuaca mendung dan hujan. Aku hanya bisa memandangi tetesan hujan melalui jendela. Berharap seseorang yang kuharapkan akan datang menemuiku. Ada secercah rasa rindu yang menyesak dalam dada.

“Aku gak suka hujan.” ungkapku sedikit marah pada Ian beberapa waktu yang lalu ketika ia mengajakku ke rumahnya untuk menemui keluarganya. Ia ingin memperkenalkanku pada keluarganya. Semula aku menolak, tapi lama-kelamaan akhirnya aku luluh. Namun, belum sampai menuju rumah keluarga Ian, kita terjebak hujan. Kukatakan agar berhenti mencari tempat berteduh atau kembali kerumahku. Tapi, ia tak menggubrisku malah mengajakku ke suatu tempat seperti padang rumput. Baju kami basah kuyup. Jelas aku marah.

“Kenapa?” Tanya dia santai. Seperti tak menghiraukan hujan yang terus mengguyur tubuh kami. “Hani, coba kamu ikuti gerakanku!” Perintah Ian padaku sambil membuka kedua tangannya, menghadap ke langit, aku menatapnya. “Pejamkan matamu!” kulihat ia tampak begitu serius, lalu membuka matanya, melirikku dengan tersenyum lalu kembali memejamkan matanya. aku pun mencoba mengikutinya. “Hani, kamu bisa ngerasaain tetesan hujan ini gak?”. Aku terdiam mencoba meresapi butir-butir air yang menerpa wajahku. “Aku ingin bebas seperti hujan. Jika suatu saat kamu merindukanku tunggulah hujan, rasakan setiap tetesannya, maka aku ada.” Teriak Ian yang berlomba dengan derasnya hujan. “Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu.” Tegas Ian. Mataku membuka, aku kaget. Baru kali ini ia mengatakan lagi bahwa ia menyukaiku. Ian memang bukan tipe laki-laki gombal. Kulihat Ian masih pada posisinya.

“Ian, aku ingin pulang!” pintaku. Ia pun membuka matanya dan melihatku semakin menggigil karena kedinginan. Tak lama ia pun mengambil kunci motornya dan mengantarkanku pulang ke rumah.
Setibanya dirumah, orangtuaku kaget melihat kami datang dengan pakaian basah kuyup. Kutinggalkan Ian di ruang tamu bersama Ayahku. Sayup-sayup kudengar ia meminta maaf pada orangtuaku. Beberapa hari aku terbaring lemah karena demam. Ian pun menjengukku. Dan masih kuingat percakapanku saat itu.
“Hani, maafin aku. Aku nyesel nyuruh kamu ngikutin kelakuanku yang aneh.”
“Sudahlah, gak apa-apa aku cuma demam, seminggu juga sembuh.”
“Makasih Han.” “Kamu kapan kembali ke Semarang?”
“Mungkin, nunggu sembuh. Secepatnya aku harus kembali. Liburanku sebentar lagi selesai.”
“Oh.” Jawab Ian singkat. Terlihat raut kekecewaan pada wajahnya.
“Oh iya, aku boleh nanya gak?”
“Apa?”
“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kamu gak suka hujan?”

Lalu, mengalirlah cerita kenapa aku gak suka hujan. Sejak kecil aku memang tidak menyukai hujan. Bagiku jika hujan datang, aku tak kan bisa melakukan aktivitas apapun. Waktu bermainku yang hanya sebentar menjelang magrib datang menjadi tak ada. Berangkat sekolah pun harus di antar, karena aku tak bisa berjalan di tempat yang licin. Berkali-kali aku jatuh ketika berangkat sekolah atau mengaji. Belum lagi, jika aku bermain hujan-hujanan ibuku akan memarahiku karena kondisiku yang lemah sering jatuh sakit jika kehujanan.

Berbeda dengan Ian. Seperti kebanyakan orang ia sangat menyukai hujan. Ia akan merasa bahagia dengan hujan. Hujan adalah hal yang paling ia tunggu. Menurutnya hujan adalah anugerah Sang Pencipta yang patut kita syukuri. Aku kaget dan tak menyangka ketika ia mengatakan masih ingat dan sangat kagum pada penjelasanku waktu kami duduk di bangku kelas tiga SMA. Tanpa sengaja ia melewati kelasku, dan mendapatiku sedang berdiskusi dengan beberapa temanku. Akhirnya ia pun duduk tak jauh dariku mencoba mendengarkan diskusiku waktu itu. Ia masih ingat ucapanku waktu itu bahwa betapa pentingnya air, tanpa air bumi menjadi gersang. Semua makhluk hidup memerlukan air. Manusia akan bisa bertahan jika tidak makan, tetapi manusia tidak akan bisa bertahan tanpa air. Saking melimpahnya air tiga perempat bumi adalah air dan tubuh manusia pun 70% terdiri dari air. Air memang sangat mendominasi alam semesta.

“Lalu, kapan kamu akan menyukai hujan?” Tanya Ian mengagetkanku.
“Suatu saat. Yah, suatu saat aku akan menyukai hujan, entah dengan cara apa aku akan menyukainya.” Jawabku. “Dan suatu saat pun aku akan menyukaimu, entah dengan cara apa” desisku.
***

Sudah dua semester ini aku jarang bertemu dia lagi. Hanya sesekali ketika libur panjang semester, itupun jika jadwal libur kita sama dan kita tak ada kegiatan di kampus masing-masing. Aku yang mengambil kuliah di Semarang, sedangkan Ian di Jakarta membuat jarak memisahkan kita. Tapi tak apa, toh itu memang pintaku untuk jarang bertemu. Tetapi, kali ini aku berharap akan bertemu dan bercengkerama lagi dengannya. Sudah beberapa kali aku mengiriminya pesan singkat, menyuruhnya untuk datang kerumahku. Ia pun menyetujuinya, hanya selalu ada kendala ketika ia akan berangkat dan hari ini ia berjanji akan menemuiku meski hujan terus mengguyur bumi.
Entah perasaan apa tiba-tiba menelusup, aku rindu dia. Mungkinkah aku mulai mencintainya? Entahlah, setelah pertemuan kemarin dengannya yang tanpa sengaja saat acara reuni di sekolahku dulu. Beberapa hari ini aku rindu lelaki itu. Sesungguhnya belakangan ini bayangan dia terus muncul dalam benakku. Berkali-kali aku berusaha mengelak dari bayangan tentangnya. Namun, tetap tak bisa. Ia terlalu menyita pikiranku. Bagiku terlalu tabu untuk mengungkapkan semuanya. Aku hanya ingin memperbaiki hubunganku dengannya.

Aku bertemu dengan Ian di gerbang sekolah. Waktu itu aku bersama Dina, temanku. Kutahu Dina adalah sahabat Ian. Mereka satu kelas. Dina mengatakan padaku bahwa ia adalah tempat curhat Ian. Ku sapa ia, selayaknya aku menyapa sebagai teman. Ini adalah bagian dari perjanjianku dengannya tiga tahun yang lalu. Ketika aku menerimanya sebagai kekasihku, dengan satu syarat bahwa tidak boleh ada yang tahu seorang pun termasuk keluargaku mengenai hubunganku dengannya. Mereka harus mengira bahwa kita hanyalah teman dan ia pun menyanggupinya.

“Hani, Dina!” teriak Ian mengagetkanku.
“Eh, Ian. Apakabar?” Tanyaku serempak kaget.
“Baik, kamu?”
“Eh, emm baik juga” jawabku kikuk. Oh iya, katanya kemarin sewaktu aku pulang, kamu gak akan pulang karena masih ada UAS. Tapi koq sekarang ada di sini?” tanyaku penasaran.
“Ian, Hani, maaf aku duluan ke dalam ya. Aku mau ketemu yang lainnya dulu.” Dina berpamitan.
“Oh iya.” Jawabku dan Ian.
“Ehm, kayaknya kamu salah dengar. Kemarin, aku bilang gak jadi hari itu, karena hari itu masih ada UAS yang mendadak di pindah. Bukan gak akan pulang.”
“Oh gitu, maaf kemarin emang sedikit berisik soalnya lagi di jalan. Kamu mau ke dalam juga?” tanyaku.
“Iya. Tapi mungkin bentar lagi.”
“Hani, aku mau tanya sesuatu sama kamu.” Tanya Ian.
“Ada apa?”
“Katanya sekarang kamu lagi dekat sama orang sini ya? Masih teman kita?” Tanya Ian setengah mendesak membuatku kaget.
“Nggak. Kata sapa? Aku masih sama kamu kan?” Aku balik bertanya.

Ian terus mendesakku. “Oh, ya sudah kalau memang tidak. Mungkin kabar itu hanya gosip. Aku percaya kamu koq.” Lanjut Ian sambil tersenyum. Tak lama Arul datang menyapa kami dan akhirnya aku pamit meninggalkan mereka. Padahal aku masih ingin berdua dengan Ian.

Pertanyaan Ian benar-benar membuatku gelisah dan tak bisa berfikir hingga kini. Aku memang tak memungkiri, sekarang ini aku sedang dekat dengan salah satu teman kelasku waktu SMA. Tapi, hanya sebatas teman. Aku tak pernah menyangka berita itu akan sampai juga ke telinga Ian.

Kemudian, ketika masuk ruangan. Aku mengambil kursi. Beberapa teman menyapaku. Dina menghampiriku kembali. Lalu menanyakan padaku tentang percakapanku dengan Ian di luar tadi. Ia pun menceritakan padaku, bahwa Ian sering bercerita padanya. Betapa ia sangat kecewa terhadap kekasihnya. Kekasih yang sangat ia cintai dan ia sayangi. Ian mendapat kabar bahwa kekasihnya itu sedang dekat dengan orang yang Ian kenal, tapi ia tidak tahu siapa laki-laki itu. Sebenarnya Ian memang mengetahui bahwa perempuan itu tidak benar-benar mencintai dia. Namun, Ian juga mengatakan entah kenapa ia tidak bisa membenci perempuan itu. Andai Dina tahu siapa kekasih Ian, ia ingin menemuinya dan memarahinya. Begitu bodohnya perempuan itu karena telah menyia-nyiakan Ian yang begitu amat mencintai perempuan itu. Dina begitu kesal dan mengutuk perempuan itu. Tetapi, Ian tak memberitahunya kepada siapa pun kecuali keluarganya. Ia memegang janji pada perempuan itu untuk tidak memberitahukan pada siapapun mengenai hubungannya. Dina juga mengatakan hal-hal yang unik tentang Ian, kebaikan Ia. Ah, aku makin kagum pada laki-laki itu, sekaligus malu dan merasa bersalah karena telah mengecewakan laki-laki yang baik seperti Ian.

Dulu sebelum ia mengatakan suka padaku akupun menyukainya sekaligus kagum padanya. Dia yang stylishnya urakan, dan dijuluki raja jail. Namun, di balik urakannya dia terlalu baik, dia yang cerdas, dia yang tak pernah marah, dia yang selalu berlaku lemah lembut pada wanita, dia yang selalu mengerti kesulitan orang lain, dia yang selalu membantu kesulitan orang, dia yang selalu tak pernah enggan untuk direpotkan, dia yang selalu sopan, dia yang selalu tersenyum yang bisa membuat senyumannya membekas, dan dia, dia dia…ah, mungkin tak cukup aku membeberkan kebaikannya satu persatu. Mungkin, itulah yang membuatku kenapa aku “tertarik” padanya. Namun, setelah ia menyatakan cintanya padaku harusnya aku bahagia gayung bersambut. “Perlu kau tahu Hani, aku menyukaimu karena kamu wanita yang cerdas, berjilbab, enak diajak diskusi, dan tidak pilih-pilih orang.” Ucap Ian lugas saat ia menyatakan cintanya padaku. Tapi, entah kenapa sejak itu aku tak memiliki rasa apapun padanya.

Tiga tahun aku mencoba berhubungan dengannya meski dengan jarak jauh. Tapi rasa cinta itu tak pernah juga muncul. Komunikasi tetap berjalan lancar walau tidak terlalu intens setiap hari. Itu memang karena kemauanku juga. Banyak temanku yang mengatakan bahwa gaya pacaranku tidak sehat. Kadang akupun sering berfikir, apakah tindakanku ini salah. Jika aku mengingat ini maka buru-buru aku menghubungi dia dan kurasakan betapa senangnya ketika ia menerima pesan atau telponku. Tapi, tetap aku tak belum bisa mencintainya.
***

Aku masih menunggunya dalam hujan yang tak kunjung reda. Hingga malam pun datang. Ia tak juga muncul. Tak biasanya perasaanku dirundung rasa khawatir. Kucoba mengiriminya pesan singkat dan menghubungi handphonenya, tapi tak ada jawaban. Aku semakin gelisah dan murung. Orang tuaku menanyakan sikapku yang aneh semenjak tadi siang. Aku hanya bisa terdiam. Mencoba berfikir positif. Mungkin Ian sibuk.Malam itu aku tak bisa sedikit pun memejamkan mataku. Kucoba dengan melakukan shalat dan membaca Al-Quran, kuharap hatiku akan tenang. Adzan subuh menggema, membangunkanku. Tak terasa aku tertidur di atas tempat shalatku. Terdengar diluar gemericik hujan yang masih tak kunjung reda. Aku mengambil air wudhu dan melakukan shalat. Ketika aku merapikan alat shalatku, handphoneku berdering. Aku sedikit kaget dan bertanya dalam hati, siapa gerangan yang menghubungiku di pagi buta. Mungkinkah Ian menghubungiku untuk meminta maaf karena kemarin ia tak jadi datang? Tiba-tiba hatiku menjadi tak karuan. Buru-buru kuraih handphoneku, kulihat ternyata Arul yang menghubungiku. Aku semakin bertanya-tanya.

“Assalamualaikum, Han.”
“Iya, waalaikumsalam. Ada apa Arul tumben kamu menghubungiku pagi-pagi”.
“Han, tolong beritahu teman-teman. Kita dapat berita duka. Ian alumni angkatan kita yang dari kelas Bahasa tadi malam meninggal dunia. Kemarin sore ia kecelakaan, keserempet truk. Kepalanya membentur trotoar. Pembuluh darah di otaknya pecah.” Jelas Arul.

Bumi seolah berhenti berputar. Aku memekik, tak terasa air mataku meleleh dan menjerit sejadi-jadinya. Seraya mengucapkan istigfar berkali-kali. Baru saja aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Ian tapi ternyata Tuhan telah mengambilnya. Aku tak menyangka Ian akan meninggalkanku begitu cepat. Tak lama orangtuaku datang menghampiriku dan menanyakan. Kukatakan pada orangtuaku bahwa Ian meninggal. Mereka kaget. Aku seperti orang kesurupan. Aku berlari meninggalkan rumah, menerobos hujan, dinginnya udara pagi hari dan pekatnya kabut. Aku terus berlari dengan menggenggam handphone. Air mataku tak kunjung berhenti seperti hujan yang juga tak kunjung reda. Sambil terus berlari aku teringat Dina. Kuhubungi ia.

“Din, Ian Din.” Ucapku sambil terisak-isak.
“Ada apa dengan Ian, Han?” Tanya hani di seberang sana seperti kaget.
“Ian, Din.”
“Iya, ada apa?
“Ian, meninggal.” Jeritku yang berlomba dengan hujan.
“Kamu, serius Han?” jawab Dina semakin kaget. Terdengar ucapan talkin dan istigfar.
“Iya, din. Din, aku..aku..aku…” Ucapku terbata-bata.
“Iya ada apa dengan kamu? Kamu dimana sekarang? Baik-baik aja kan?”
“Aku pacar Ian!”

Handphoneku terlempar begitu saja. Aku terduduk lemas di tepi jalan. Hujan menemaniku yang terus menangis. Aku rindu dia. Aku mencintainya. Aku berharap dia datang bersama hujan. ****


Kostalihsan, 8 Juni 2011. 7.02 am
*Teruntuk sahabatku terimakasih
telah menginspirasiku
I hope u will be stronger.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar